Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai
Proses Akad Nikah
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu.
Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah)
yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh
kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan
yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga
dapat diartikan sebagai pernikahan, Allahs.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
Wakil wali/Qadi adalah orang
yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk
menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan
bakal suami.
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung”
sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh
adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”,
sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses
sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.
Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya
ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu
pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya.
Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang
tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam
rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan
haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui
siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan
informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari
informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun
dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan
kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti
bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan
ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru
ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah
ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang
wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang
laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila
memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka
mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah.
Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik
lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa
dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum
berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal,
sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah
kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara
sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan
ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali
bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah
di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).”
(Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا
وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat
perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya,
dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila
tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau
saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku
berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah
kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang
sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang
janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa
mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara
perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka
perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau
lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ
أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar
mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR.
Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ
طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut.
Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau
menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita
maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan
mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي
الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada
sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no.
3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang
seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah
engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab
Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas
untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR.
An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah
engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah
hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak
memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah
nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si
wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si
lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya,
hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim,
9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang
seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat
melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad,
“Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ
يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang
seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR.
Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang
ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak
menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ
لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak
ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk
meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).”
(HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath
1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan
dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku
tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena
khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan
dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang
sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya.
(Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat
calon)
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak
boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat)
dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang
wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan
Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik
saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin
dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna
melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan
kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan
Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak
di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang
bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua
betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي
مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat
dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia
melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat
bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga
dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk
melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si
gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah
radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah
hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan
seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat
bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa
sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat
bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang
dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian
tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang
biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan
melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap
syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan
kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila
Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini
didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,
hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah
terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram
baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ
يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ
عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah
halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal
pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita
meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua.
Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila
peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang
kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya
maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad
nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si
lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum
akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan
dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih
dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang
wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah
si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam
keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si
wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun
bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata
berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria
bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan
membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan
budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada
keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita
atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia
memerhatikan perkara berikut ini:
-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya
lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui
maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ،
إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai
agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya
niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`
no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak
boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى
تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ
تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang
gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136
dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan
ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya
terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah
yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai
berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا
هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ
كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا.
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul
ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor
kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah
ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu
disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا
أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah
ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan
ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya
dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah
dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin
baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah
radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya.
Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang
hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari
secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang
shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang
dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka
makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ
وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang
dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin
tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil,
tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.)
dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي
النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut
(suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896.
Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara
dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia.
(Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya,
“Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits
Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu
anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan
pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no.
5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau
memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua
mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن،
إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ
بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang
menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi
atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi
no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia
ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa
perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk
membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari
mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih
mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk
menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar
dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada
istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya
berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan
suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku
memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau
pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas
susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk
malu.”Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari
susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara
ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas
bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ
بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ:
اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli
seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku
meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.”
(HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang
setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua
rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid
Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku
berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu
‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun
orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa
demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami
mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan,
“Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya.
Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di
atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu
‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam
masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si
wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan.
Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang
biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita
ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher,
kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian
tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal
keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat,
selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya
tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi
oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri
di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu
kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan
menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu
dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud
membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya
secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu
Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat
aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat
yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh
kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini
adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam
hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat
Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak
tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu
riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita
sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i.
(An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih
mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat.
(Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan
dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang
punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya
dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari
tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no.
5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan.
Wallahu ‘alam bish-shawab
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat : 13]
Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.” [2]
Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur : 26]
b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…” [An-Nisaa’ : 34]
Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ.
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :
1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
3. Menjaga shalat yang lima waktu,
4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7]
6. Berakhlak mulia,
7. Selalu menjaga lisannya,
8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.
Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” [8]
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9]
Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.
Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090), Muslim (no. 1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i (VI/68), Ibnu Majah (no. 1858), Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/62, no. 9320).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i (VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-Ta’liqaatul Hisaan) dan al-Baihaqi (VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim (II/161) dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat Abu Hurairah radhi-yallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021 -at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash secara marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
[7]. Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang, bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah ‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari keduanya melainkan derajat taqwanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat : 13]
Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.” [2]
Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar selamat dunia dan akhirat.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…” [An-Nuur : 26]
b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“…Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (me-reka)…” [An-Nisaa’ : 34]
Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ.
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :
1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
3. Menjaga shalat yang lima waktu,
4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7]
6. Berakhlak mulia,
7. Selalu menjaga lisannya,
8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.
Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala.” [8]
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“…Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan anak.[9]
Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak, sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar, sesuai dengan agama Islam.
Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090), Muslim (no. 1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i (VI/68), Ibnu Majah (no. 1858), Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/62, no. 9320).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i (VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-Ta’liqaatul Hisaan) dan al-Baihaqi (VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim (II/161) dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat Abu Hurairah radhi-yallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021 -at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash secara marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
[7]. Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : 2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa
syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:
1.
Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]
Ibnu Baththal rahimahullaah
berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya
adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya
berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan
paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak
memiliki hak wali.” [2]
Disyaratkan adanya wali bagi
wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi
wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui
daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing
urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah
tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa saja wanita yang
menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya
bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu
berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka
berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.” [3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Tidak sah nikah melainkan
dengan wali.” [4]
Juga sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak sah nikah kecuali
dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]
Tentang wali ini berlaku bagi
gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa
wali, maka nikahnya tidak sah.
Tidak sahnya nikah tanpa wali
tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan
dalil dari Al-Qur’anul Karim.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
Ayat di atas memiliki
asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang
firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan
al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar,
sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
“Aku pernah menikahkan
saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu
menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu
(mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku
telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu
engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi
Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah
laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya.
Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan
menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara
perempuannya kepada laki-laki itu.[6]
Hadits Ma’qil bin Yasar ini
adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah
dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah
nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar
yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara
perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah
sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat
al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika
wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya,
wali sebagai syarat sahnya nikah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam
pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada
prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika
tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah
perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak
menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu
Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal
itu.” [7]
Imam asy-Syafi’i
rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka
tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]
Imam Ibnu Hazm rahimahullaah
berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis,
melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya,
pamannya, atau anak laki-laki pamannya…” [9]
Imam Ibnu Qudamah
rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak
berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak
boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia
melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh
melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Pernikahan tidak sah,
melainkan dengan adanya wali.”
•
Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang janda tidak boleh
dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak
boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.”
[11]
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah
shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya,
sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya,
ataukah ia ingin membatalkannya). [12]
•
Mahar
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
Mahar adalah sesuatu yang
diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.
Mahar (atau diistilahkan
dengan mas Kimpoi) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki
yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh
seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan
keridhaannya.
Syari’at Islam yang mulia
melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk
meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Di antara kebaikan wanita
adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]
‘Urwah berkata, “Yaitu mudah
rahimnya untuk melahirkan.”
‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‘Sebaik-baik pernikahan ialah
yang paling mudah.’” [14]
Seandainya seseorang tidak
memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan
mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]
Quote: • Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:
Segala
puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan
kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak
ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]
“Wahai manusia! Bertaqwalah
kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan
(Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada
Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' :
1]
“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan
barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan
kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]
Amma ba’du
Hikmah Pernikahan[sunting | sunting sumber]
·
Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui
ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah
dan amat merugikan.
·
Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
·
Memelihara kesucian diri
·
Melaksanakan tuntutan syariat
·
Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
·
Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan
lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan
tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam
kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang
direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai
petunjuk dan pedoman pada anak-anak
·
Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
·
Dapat mengeratkan silaturahim
Pemilihan calon[sunting | sunting
sumber]
Islam mensyaratkan beberapa ciri
bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini
hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.
Ciri-ciri
bakal suami[sunting | sunting
sumber]
Sekadar
gambar hiasan: Sebuah acara pernikahan di Indonesian dan diadakan dengan budaya
Jawa
·
beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
·
bertanggungjawab terhadap semua benda
·
memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
·
berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke
jalan yang benar
·
rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki
yang halal untuk kebahagiaan keluarga.
Penyebab haramnya sebuah pernikahan[sunting | sunting sumber]
·
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena
keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23
yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak
saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi
saudara perempuan.”:
·
Ibu
·
Nenek dari ibu maupun bapak
·
Anak perempuan & keturunannya
·
Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
·
Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu
semua anak saudara perempuan
·
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan
ialah:
·
Ibu susuan
·
Nenek dari saudara ibu susuan
·
Saudara perempuan susuan
·
Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
·
Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan
·
Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
·
Ibu mertua
·
Ibu tiri
·
Nenek tiri
·
Menantu perempuan
·
Anak tiri perempuan dan keturunannya
·
Adik ipar perempuan dan keturunannya
·
Sepupu dari saudara istri
·
Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya
Peminangan[sunting | sunting sumber]
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak
laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang
dipersetujui oleh kedua pihak. Meminangmerupakan
adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan
juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan
hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan
bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan
tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh
sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh
wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa
peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena
tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan
untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
"Abu Hurairah RA
berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah
dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya
tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya
pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)
"Daripada Ibnu Umar RA
bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan
saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk
memutuskannya". (Hadis
Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))