Jumat, 06 Desember 2013

KOMPETENSI DAN PERFORMANSI BAHASA

Kompetensi dan Performansi Bahasa

Pada tahun 1957, Noam Chomsky mencoba untuk mengajukan suatu konsep tentang teori bahasa yang berbeda dengan teori bahasa yang berkembang sebelumnya, yaitu aliran strukturalis. Chomsky (1957: 11) berpendapat bahwa kajian bahasa pada masa-masa sebelumnya belum dapat menggambarkan secara komprehensif tentang hakikat bahasa. Pada masa-masa sebelumnya kajian bahasa masih dideskripsikan pada batas-batas struktur lahir (surface structure) yang dianggap belum memenuhi ketuntasan dalam pengkajian teori bahasa. Hal itu berarti bahwa bahasa masih dideskripsikan dengan cara mendaftar kalimat-kalimat dan memberi deskripsi masing-masing kalimat itu. Padahal, setiap bahasa manusia itu terbentuk dari serangkaian kalimat yang tak terbatas jumlahnya, tetapi panjang kalimat-kalimat itu terbatas dan terbentuk dari seperangkat unsur-unsur yang bersifat terbatas pula.
Tentunya, deskripsi bahasa dengan cara seperti itu akan mengalami kesulitan. Hal itu disebabkan oleh terlalu banyaknya data yang harus dideskripsikan untuk setiap hasil perilaku berbahasa dan setiap bahasa manusia (Kempson, 1977:4). Oleh karena itu, Chomsky (1957:11) mengusulkan suatu prosedur yang biasa dipakai pada bahasa formal atau bahasa matematika yang menempatkan serangkaian objek yang tidak terbatas, sehingga dapat dideskripsikan dengan serangkaian kaidah yang terbatas. Hal itu sangat dimungkinkan karena aspek bahasa manusia itu terletak pada gramatika. Gramatika suatu bahasa diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan kebahasaan yang dimiliki sejak anak-anak secara tidak sadar.
Struktur lahir tidak dapat dijadikan sebagai titik tolak kajian teori kebahasaan, sehingga diperlukan titik tolak yang dapat mewadahi kajian teori kebahasaan dengan tuntas. Untuk itu, struktur lahir perlu dikaitkan dengan struktur batin (Chomsky, 1957:15). Masalah struktur batin dan struktur lahir dikembangkan lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul “Aspect of the Theory of Syntax “ (1965). Seiring dengan itu, Chomsky juga membahas performansi sebagai perwujudan penggunaan bahasa yang berbeda dengan kompetensi. Definisi kompetensi sering diinterpretasikan tidak berbeda dengan definisi langue dari de Saussure. Baik de Saussure maupun Chomsky beranggapan bahwa konteks sosial bukanlah hal yang perlu dipertimbangkan. Namun, Chomsky menolak pandangan de Saussure bahwa langue adalah sistematisasi dari unsur-unsur bahasa dan menekankan konsep kompetensi sebagai suatu sistem proses generatif. Pandangan ini sejalan dengan anggapan Chomsky bahwa teori linguistik perlu mengkhususkan diri untuk membahas kenyataan mental yang mendasari tindakan nyata (Chomsky, 1965:4).
Chomsky melihat tugas teori linguistik adalah untuk menemukan model penjelasan (explanatory model), yakni tata bahasa/gramatika, yang memungkinkan cara kerja pikiran (mind) dapat didalami dan dimengerti. Bertolak dari pandangan tersebut, maka Chomsky memberikan batasan pada tugas tata bahasa generatif, yaitu memerinci sesuatu yang benar-benar diketahui penutur, bukan yang dinyatakan diketahui oleh penutur (Chomsky, 1965:9). Oleh karena itu, tata bahasa generatif transformasi membatasi kajiannya pada terbentuknya kalimat serta deskripsi strukturalnya. Chomsky menganggap bahwa proses derivasi yang dilakukan oleh penutur merupakan daerah kajian teori performansi atau teori penggunaan bahasa. Hal itu berarti tata bahasa generatif transformasi membatasi diri untuk membicarakan kegramatikalan kalimat yang menjadi bagian utama teori kompetensi, sedangkan penuturan tentang kesesuaian kalimat menjadi bagian utama teori performansi. Dalam dikotomi antara performansi dan kompetensi, kompetensi merupakan cerminan proses mental yang melahirkan suatu struktur kalimat yang ideal, yang mampu mencerminkan tata bahasa yang sebenarnya. Sedangkan performansi, sebagai sebuah teori tentang penggunaan bahasa, dipengaruhi oleh keterbatasan daya ingat manusia, kekacauan pikiran, dan beralihnya perhatian dan minat, serta kesalahan-kesalahan dalam menerapkan pengetahuan tentang bahasa (Chomsky, 1965:3).
Campbell dan Wales (dalam Omaggio, 1986:3) menerima perbedaan antara kompetensi dan performansi, tetapi perbedaan itu tidak berhubungan dengan ketepatan sebuah tuturan dengan situasi atau konteks sosiokultural. Tingkatan produksi dan pengertian bahasa seseorangbergantung pada konteks tempat terjadinya sebuah tuturan, bahkan lebih penting daripada kegramatikalannya. Hymes (dalam Omaggio, 1986:3) juga menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah penggunaan bahasa, khususnya yang berhubungan dengan kaidah-kaidah interaksi sosial dan kesesuaian perilaku sosial, yang ditolak oleh Chomsky. Hal itu menunjukkan bahwa kedua ahli tersebut sepakat bahwa perwujudan bahasa dari seorang penutur tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor sosiokultural agar diperoleh sebuah tuturan yang sesuai. Sehubungan dengan itu, Hymes (dalam Omaggio, 1986:6) menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah tata bahasa yang tidak dapat digunakan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah penggunaan bahasa, begitu juga terdapat kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang tidak dapat digunakan tanpa kaidah-kaidah tatabahasa. Penegasan Hymes tersebut menunjukkan bahwa keberadaan sintaksis tidak dengan sendirinya dapat dikaji unsur semantiknya, tanpa menyertakan kajian tentang konteks yang menyertainya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa tuturan yang muncul sering tidak tampak kegramatikalannya, tetapi dilihat dari konteks yang menyertainya akan menampakkan urutan-urutan tuturan yang dapat dianalisis dengan baik.
2.1.2 Konsep Jender
Hampir semua masyarakat membedakan pola aktivitas dan karakteristik sosial yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut oleh anggota masyarakat dipandang sebagai hal yang wajar, alamiah, dan merupakan pembawaan (fitrah). Pola sosialisasi aktivitas dan karakteristik sosial dalam masyarakat tersebut mendorong perempuan agar menjadi feminin dan laki-laki menjadi maskulin. Dorongan tersebut mengakibatkan terbentuknya kepribadian dan sifat-sifat yang dianggap patut untuk kelompok maskulin dan patut untuk kelompok feminin. Oleh karena itu, femininitas dan maskulinitas bukan merupakan warisan biologis atau genetik, tetapi merupakan konstruk sosial yang diwariskan secara budaya. Perbedaan kepatutan terhadap femininitas dan maskulinitas sebagai akibat dari kontruk sosial itu disebut dengan perbedaan jender. Oleh karena perbedaan jender itu dibentuk oleh masyarakat yang mempunya andil besar dalam sebuah konstruk sosial, maka nilai-nilai budaya akan berpengaruh pada peran yang disandang laki-laki sebagai simbol maskulinitas dan perempuan sebagai simbol femininitas. Sehubungan dengan itu, Moser (dalam Kerstan, 1994) menyatakan bahwa perbedaan nilai-nilai budaya maskulinitas dan femininitas itu diwujudkan dalam setiap bidang kehidupan masyarakat, misalnya pada peran produksi, reproduksi, sosial, kebutuhan praktis, dan kebutuhan strategis. Oleh karena intensitas keberterimaan nilai-nilai budaya tentang perbedaan jender itu tinggi, maka dijadikanlah nilai-nilai budaya itu sebagai sebuah norma dan kebiasaan. Intensitas keberterimaan yang tinggi itu disebabkan oleh adanya proses sosialisasi dan internalisasi yang intensif dan turun-temurun antargenerasi.
Sudrajat (1994:2) menyatakan bahwa proses sosialisasi dan internalisasi peran jender terjadi pada tiap individu sejak usia dini, melalui empat cara, yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Keluarga

Sikap, tindakan orang tua, dan organisasi rutin kehidupan rumah tangga mendorong perkembangan anak laki-laki dan perempuan ke arah peran jender (gender roles). Contoh-contoh berikut merupakan sikap, tindakan, dan organisasi rutin kehidupan rumah tangga yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Anak laki-laki boleh ribut, nakal dan kotor, tetapi anak perempuan harus tenang, manis, dan selalu tampak bersih. Anak laki-laki bermain dengan pistol, mobil, pesawat terbang, kereta api, sementara anak perempuan dengan mainan boneka, alat dapur, dan alat kecantikan. Anak perempuan lebih mendapatkan perlindungan dan perhatian yang khusus mulai masa kecil sampai dewasa daripada anak laki-laki. Bahkan, anak perempuan hanya boleh bergerak di dalam atau sekitar rumah dan tidak boleh keluar malam, sementara anak laki-laki lebih bebas. Akibatnya, anak perempuan lebih banyak dibebani tugas-tugas domestik, sehingga pengalaman dan rasa percaya dirinya kurang.

Sekolah

Materi pelajaran, susunan pengajar, dan pola interaksi dalam kelas seringkali memperkuat perbedaan peran jender, misalnya deskripsi dan ilustrasi yang terdapat dalam buku teks menunjukkan adanya perbedaan jender dan mata pelajaran keterampilan tata boga diajarkan oleh guru perempuan.
Kelompok Sebaya (Peer Groups) dan Media Massa
Keberterimaan dan ikatan kelompok dan arus informasi yang disampaikan kepada masyarakat menunjukkan adanya kecenderungan untuk mempromosikan dan memperkokoh perilaku maskulin dan feminin, misalnya kebiasaan merokok lebih pantas dilakukan laki-laki agar kelihatan lebih gagah, dan model untuk produk domestik lebih pantas dilakukan oleh perempuan. Laki-laki digambarkan sebagai figur dominan dan sukses, sedangkan perempuan sebagai penunjang dan pelaksana tugas-tugas domestik.

Bahasa

Pembedaan seks dan jender seringkali terungkap secara eksplisit dalam penggunaan bahasa, baik berupa kata sandang (artikel) suatu objek, tata bahasa atau struktur kalimat. Istilah-istilah seperti: chairman, political man, manmade environment, memberikan tekanan pada peran dan posisi laki-laki, dengan mengesampingkan kehadiran dan partisipasi perempuan.
Uraian dan contoh proses internalisasi dan sosialisasi peran jender tersebut akan mempengaruhi performansi pengguna bahasa secara berbeda. Perbedaan itu diakibatkan oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari kehidupan masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas yang harus sesuai dengan batasan-batasan yang diakibatkan oleh perbedaan jender. Pada akhirnya pengalaman yang berbeda tersebut akan memberikan kontribusi berbahasa yang berbeda, baik pada kosa kata, struktur bahasa, logika berbahasa, dan perilaku pendukung berbahasa. Perbedaan kontribusi berbahasa yang berbeda membawa akibat pada perbedaan performansi bahasa laki-laki dan performansi bahasa perempuan.
Performansi bahasa yang berbeda itu akan mempengaruhi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Performansi bahasa menunjukkan pula adanya hubungan dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Hal itu berarti ketimpangan hubungan jender berakar dari persepsi, ideologi, dan kehidupan sosial yang tumbuh dalam keluarga dan masyarakat. Sehubungan dengan ketimpangan hubungan jender tersebut, beberapa teori psikologi menyatakan bahwa ketimpangan hubungan jender itu diakibatkan oleh terjadinya pembentukan skema yang dihasilkan dari proses belajar. Dalam beberapa teori psikologi, dikaji adanya peran jender yang didasarkan pada teori belajar sosial, teori psikoanalisis, serta teori kognisi dan perkembangan kognitif.
Penganut teori belajar sosial mendasarkan kajiannya pada faktor lingkungan sebagai faktor penentu perubahan perilaku pada manusia. Belajar menurut teori ini merupakan perubahan perilaku yang bukan semata-mata terjadi karena proses kematangan dan reaksi refleks, tetapi terjadi karena adanya pengalaman. Menurut teori ini, alam menciptakan jantan dan betina berdasarkan perbedaan biologis, sedangkan kebudayaan menciptakan laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan peran jender. Perbedaan biologis bersifat kodrati (dibawa sejak lahir), sehingga tidak dapat berubah. Sebaliknya, perbedaan jender tidak bersifat kodrati, sehingga dapat berubah bergantung pada faktor penguat yang mempengaruhinya. Faktor penguat itu akan membentuk perilaku yang konsisten. Jika perilaku yang konsisten itu diikuti oleh suatu ganjaran (reward) atau diberi penguat (reinforcement) positif, maka perilaku itu akan muncul kembali. Jika penguat itu adalah negatif, maka perilaku tersebut tidak akan muncul lagi. Penguat yang positif akan menjadi bukti bahwa potensi yang ada pada kelompok dominan membawa pengaruh pada pencapaian peran kelompok dominan dalam pengambilan keputusan di masyarakat. Oleh karena itu, peran kelompok dominan akan terdorong untuk semakin meningkatkan perannya.
Teori psikoanalisis dikembangkan dengan berdasarkan adanya kompleksitas yang luar biasa dari perilaku manusia yang diikuti oleh rentangan perbedaan individual dalam kepribadian seseorang. Salah satu teori yang berpengaruh secara signifikan dalam bidang ini adalah teori psikoanalisis Freud. Teori psikoanalisis Freud menyatakan bahwa perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh kesadarannya, tetapi juga ditentukan oleh ketidaksadarannya (unconciousness). Psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud adalah konstelasi dari berbagai teknik untuk menjadikan ketidaksadarannya sadar. Tujuannya bukan hanya menggali kembali ingatan yang dilupakan seseorang, melainkan untuk memperoleh pengertian struktur dan pola interpersonal, kepercayaannya, konflik, maupun kecemasannya.
Freud percaya bahwa aspek perkembangan dalam kepribadian memegang peranan yang sangat menentukan sejak masa anak-anak. Pada masa anak-anak masuk sekolah, struktur dasar perkembangan kepribadian tersebut dapat diperluas. Kepribadian dibaginya dalam tiga sistem terpisah yang interaktif, yaitu id, ego, dan superego. Semua sistem ini memiliki peran penting dalam berfungsinya kepribadian. Yang disebut id adalah bagian dari psike yang bersifat primitif dan berfungsi berdasarkan prinsip hedonistik. Caranya berfungsi adalah primitif, yang disebutnya “primary-process-thinking” (Hall dkk, 1986) melalui mimpi atau disorder psikologis yang disebut psikose. Ego berfungsi atas prinsip realitas yang menguasai tuntutan dan dorongan id. Freud (dalam Hall dkk, 1989) menyebutnya “secondary-process-thinking” yang diikuti peraturan logika dan kesadaran, yang sering bertentangan dengan id. Superego berkenaan dengan segi moral dan peraturan-peraturan di dalam masyarakat sosial dan mulai tumbuh kurang lebih tiga tahun setelah anak menemukan perbedaan kelaminnya (phallic stage) yang diikuti oleh konflik Oedipus yang merupakan konflik psikologis dari perkembangan anak yang paling penting. Persepsi anak menampakkan anggapan bahwa mereka adalah saingan utama orang tua yang jenis kelaminnya sama dan konflik ini berakibat besar terhadap identitas jendernya. Teori ini juga percaya bahwa perempuan tidak memiliki superego yang kuat dan secara kultural inferior terhadap laki-laki. Freud mengira bahwa hal ini bersumber dari persepsi anak perempuan kecil yang cemburu terhadap alat kelamin laki-laki, sehingga kurang memiliki kepercayaan diri dan tergantung pada laki-laki.
Teori kognisi dan perkembangan kognitif menyatakan bahwa yang disebut dengan kognisi mencakup semua proses mental manusia yang meliputi antara lain proses mengetahui, berpikir, membuat keputusan, penilaian, berkhayal, mengatasi masalah, mengelompokkan, dan menganalisa. Ragam aktivitas mental ini ditandai dengan kemampuan untuk mengelompokkan objek-objek dan kejadian yang memiliki kesamaan dan mencakupnya dalam suatu konsep seseorang sejak lahir. Hal itu diperolehnya secara bertahap yang merefleksikan pengetahuan tentang dunia. Representasi internal tentang ciri-ciri kelompok atau kategori tertentu disebut skema. Kategorisasi ini diperolehnya melalui pengamatan, yaitu dengan membandingkan persamaan dan perbedaan objek atau kejadian tertentu. Ada beberapa asumsi yang menyertai pendekatan ini, yaitu (a) setiap kategori memiliki persamaan ciri yang penting, misalnya: semua manusia hidup bernyawa, (b) sesuatu adalah secara jelas anggota kategori tertentu atau bukan anggota kategori tertentu (misalnya, laki-laki dan perempuan), dan (c) batas-batas kategori adalah jelas dan tidak bergeser.
Berdasarkan asumsi tersebut terjadilah kategori alamiah (natural categories) seperti laki-laki dan perempuan. Setiap konsep terdiri dari inti utama (central core) yang bisa mencakup semua ciri khas untuk mewujudkan suatu keutuhan. Manurut para ahli teori perkembangan kognitif, para orang tua sering menghadirkan model peran jender (gender role model) bagi anak-anaknya. Anak kecil mengategorikan laki-laki dan perempuan berdasarkan ukuran fisik, gaya rambut, dan pakaiannya. Kalau anak sudah menemukan identitas jendernya (gender identity) dan mereka memahami bahwa mereka adalah laki-laki dan perempuan, maka mereka akan mencari keteladanan peran jender tersebut. Mereka ingin berpikir dan bertindak seperti yang lain dan kategori jender merupakan bagian dari dirinya berdasarkan bangunan skema untuk setiap kategori jender tersebut (Semiawan, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar