Rabu, 27 November 2013

Dikotomi Signifiant (penanda) dan Signifie (petanda)

2. Dikotomi Signifiant (penanda) dan Signifie (petanda)

Lanque merupakan suatu sistem tanda yang bersifat abstrak sebagai dasar untuk mengungkapkan sesuatu yang kongkret. Tanda bahasa ini tersimpan dalam otak manusia sebagai asosiasi dari serapan akustis dan konseptual. Serapan citra akustis dalam pemikiran manusia itu dikenal sebagai signifie. Keduanya membentuk satu kesatuan yang tidak terpisahakan, hal inilah yang disebut tanda.

De Saussure berpendapat bahwa ciri dasar tanda bahasa adalah arbitaritas absolut (kesemenaan absolut), yang dipertentangkan dengan tanda bahasa yang memiliki motivasi. Arbitaritas ialah yang membentuk signifiant dan signifie secara sembarang, sehingga orang tidak bisa lagi menjelaskan kenapa sebuah mobil disebut ‘mobil’, bukannya ‘rumah’. Bertentangan dengan itu, pada proses simbolisasi di dalam alam pikiran, kita membentuk keterkaitan antara signifiant dan signifie. Seperti tanda merah pada lampu lalu lintas, artinya semua pemakai jalan harus berhenti. Pemakai jalan tidak bisa menggantinya dengan warna lain. Warna merahdan tindakan berhenti merupakan satu kesatuan antara penanda dan petanda.

Barthes kemudian meneliti beberapa istilah yang berhubungan dengan tanda, yaitu sinyal, ikon, indeks, simbol, dan alegori. Istilah-istilah ini dipahami sama oleh pemikir yang berbeda, seperti Hegel, Pierce, Jung dan Wallon. Dengan membaca secara vertikal, maka terdapat kontradiksi terminologis antar masing-masing pemikir. Barthes menilai bahwa terdapat permasalahan dalam merumuskan makna tanda itu sendiri yang dilakukan oleh para pemikir besar.

Sumber : Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa (halaman : 68 – 69)
Penanda dan Petanda, konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep.

Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi.
Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Menurut Barthes, pada dasarnya semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi dari objek-objek yang hendak dikomunikasikan, tetapi juga menyusun sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar